RSS

Tuesday, January 11, 2011

D. Hakekat Kalamullah

Semua aliran teologi Agama Samawi sependapat bahwa; Allah Ta’ala berkalam, dengan kalam itu Allah Ta’ala menyuruh dan melarang hamba-Nya berbuat sesuatu, baik langsung maupun melalui Rasul-Nya. Mereka tidak berbeda pendapat tentang eksistensi kalam (wujudiahnya) dan menisbahkan kalam itu kepada Allah Ta’ala. Mereka berbeda pendapat tentang kuiditas kalam itu (mahiyahnya), apakah kalam itu aksiden temporal (arad hadits) sebagai sifat kreatif (sifat kerja) bagi Allah Ta’ala ? atau kalam itu substansi external (maujud qadim) sebagai sifat Zat Allah Ta’ala .
Kuiditas (Mahiyat) Kalam.
Aliran teologi Islam, tidak sependapat tentang kuiditas kalam (mahiyat kalam), sehingga mengakibatkan berbeda pendapat mereka terhadap kemestian-kemestian dari kuiditas kalam yang berbeda–beda itu. Disebabkan kesamaran tentang kuiditas kalam, maka tidak jarang timbul kekeliruan dalam memahami teori–teori Ahlus-Sunnah mengenai kalam sebagai salah satu sifat Allah Ta’ala . agar terhindar dari kesamaran yang mengakibatkan kekeliruan itu, penulis mencoba menguraikan kuiditas kalam menurut teori aliran teologi Islam sebagai berikut ;
Jumhur Ahlissunnah menyatakan ;
قَـالَ السَّـنُـوْسِىُ : كَـلاَمُ اللهِ بِـذَاتِـهِ هُـوَ صِـفَـةٌ أَزَلِـيَّـةٌ لَـيْـسَ بِحَـرْفٍ وَلاَ صَـوْتٍ وَلاَ يَـقْبَلُ الْعَـدَمَ وَمَـا فِـى مَـعْـنَـاهُ مِنَ السُّـكُوْتِ وَلاَ التَّـبْـعِـيْـضِ وَلاَ التَّـقَـدُّمِ وَلاَ التَّـنَـافُـرِ ( ام الـبـراهـيـن ١٧٢ )

Menurut Imam as-Sanusi Kalam Allah Ta’ala yang bersubstansi zat-Nya ialah; suatu sifat external yang tidak berbentuk huruf, tidak berbentuk suara, tidak pernah mengalami tiada, tidak yang semakna dengan tiada seperti diam, tidak terbagi-bagi, tidak terdahulu dan tidak terkemudian
Definisi ini memastikan bahwa; kalam itu bukan aksiden temporal (aradl hadits) sebagai sifat kreatif ( berbicara ), tetapi ia adalah sifat external bagi zat yang tidak pernah mengalami tiada baik pada permulaan, pada pertengahan maupun pada kesudahan (azali lagi abadi ). Maka kalam itu bukan bicara, tetapi ia adalah sifat zat yang senantiasa, ia bukan jenis suara yang terdiri dari huruf-huruf, karena suara yang demikian memastikan adanya prior dan posterior (taqaddum dan ta’akhur pada wujudnya ). Demikian juga taklim yang Iafirmasikan kepada Allah Ta’ala bukan berbicara karena berbicara itu didahului oleh tiada ( temporal ) yakni memulai yang sebelumnya tiada. Tetapi تـكـليمtaklim itu ialah memberikan kesanggupan kepada seseorang mendengar kalam yang bukan dari jenis suara itu.
Maka arti وكـلم الله موسى تكـلـيما menurut jumhur Ahlis-Sunnah ialah; Allah Ta’ala memberikan kesanggupan kepada nabi Musa untuk mendengar kalam Qadim yang bukan jenis suara itu; sehingga nabi Musa mendengar kalam itu dan dapat membaca maknanya yang mereka istilahkan dengan kalam nafsi.
Namun Abu Mansur Al Maturidi dari kalangan jumhur berpendapat bahwa; kalam qodim itu tidak termasuk objek sasaran pendengar karena ia bukan jenis suara. Maka arti :
وكـلـم الله مـوسى تـكـلـيـمـا menurut beliau ialah; Allah Ta’ala mengibaratkan / menjelmakan kalam qodim itu dengan bentuk suara, sehingga nabi Musa dapat mendengarnya. Apa yang ditunjuki oleh kalam yang didengar oleh nabi Musa persis sama dengan apa yang ditunjuki; oleh kalam Qodim yang tidak dapat didengarnya itu.

No comments:

Post a Comment