RSS

Monday, January 10, 2011

A. Uraian Khusus Sifat; Ilmu, Sama’, Bashar Dan Kalam Allah Ta’ala


A. Allah Ta’ala Bersifat Dengan Ilmu
     Firman Allah SWT dalam; Q.S. al-Anfal : 42
وَإِنَّ اللهَ لَـسَـمِـيْـعٌ عَـلِـيْـمٌ
Dan sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
            Yang dimaksud dengan ilmu ialah ; mengetahui, yakni Allah Ta’ala mengetahui segala-galanya dengan tidak ada perantara, tidak ada tingkatan-tingkatan dan tidak ada didahului oleh jahil (tidak tahu sebelumnya).
            Dalam pengertian tersebut ada empat unsur; yang harus diketahui secara mendalam , untuk dapat dimengerti maksud dari Ilmu, sebagai salah satu sifat Allah Ta’ala. Unsur-unsur yang dimaksud ialah :
            1. Segala-galanya
            Yang dimaksud dengan segala-galanya ialah ; segala yang wajib adanya, segala yang mustahil pada akal dan segala yang mumkin atau jaiz.
            Segala yang wajib meliputi, segala yang wajib ada pada akal dan segala yang wajib ada pada adat.
            Sedangkan segala yang mustahil , meliputi segala yang mustahil ada pada akal dan segala yang mustahil ada pada adat pula.
            Sementara segala yang mumkin, meliputi segala yang mumkin ada pada akal dan segala yang mumkin ada pada adat/yang jaiz.
            Maka jumlah segala-galanya itu, dapat dikelompokkan kepada beberapa kelompok, sebagai berikut :
  1. Segala yang wajib ada pada akal, misalnya zat Allah Ta’ala.
  2. Segala yang wajib ada pada adat. Misalnya ibu dari setiap anak
  3. Segala yang mustahil ada pada akal, misalnya anak Tuhan
  4. Segala yang mustahil ada pada adat, misalnya ada anak tanpa ibu.
  5. Segala yang mumkin ada pada akal, misalnya hujan besok turun
  6. Segala yang mumkin ada pada adat, misalnya ada anak lebih kecil badannya dari ayahnya.
2.  Tiada perantara
            Maksudnya, Allah Ta’ala mengetahui segala sesuatu itu hanya dengan ilmuNya, bukan sebagaimana halnya manusia mengetahui dengan melalui alat atau perantara.
            Manusia mengetahui sesuatu dengan bermacam-macam alat perantara seperti; pendengaran melalui telinga, penglihatan melalui mata; penciuman melalui hidung, perasaan dan sentuhan melalui kulit, mengetahui benar dan salah dengan akal. Maka, masing-masing perantara itu mempunyai kekhususan yang terbatas pula.
            Apabila perantara–perantara itu digunakan, tidak sesuai dengan kekhususannya yang terbatas itu, sudah pasti tidak akan mengahsilkan ilmu sama sekali.
            Oleh karena itu, berbeda dengan Allah Ta’ala yang mengetahui segala sesuatu itu secara langsung (inkisyaf) dengan tidak memerlukan perantara sama sekali.
            3. Tidak ada tingkatan-tingkatan
            Ilmu Allah Ta’ala tidak ada tingkatan-tingkatannya, berlainan halnya dengan ilmu manusia, ilmu manusia mempunyai tingkatan-tingkatan kwalitas yaitu :
      a.    Mulai dari tidak tahu, menjadi tahu.
      b.    Waham, yakni sangkaan yang ringan terhadap adanya sesuatu atau tidak adanya.
      c.    Syak, yakni sangkaan yang sama kuat terhadap adanya sesuatu atau tidak adanya
      d.    Zhan, yakni sangkaan yang kuat terhadap adanya sesuatu atau tidak adanya.
      e.    I’tiqad shahih, yakni yakin terhadap adanya sesuatu atau tidak adanya.
        f.    Ma’rifah, yakni yakin adanya sesuatu atau tidak adanya sesuatu, di mana keyakinan tersebut adalah hasil dari analisa dalil atau pengalaman melalui perantara
      g.    Atau manusia dapat berilmu (tahu) melalui; tahapan, tahu, mengetahui, kenal (ma’rifah), mengenal, lebih tahu, sangat tahu, dan seterusnya.
Maka yang dimaksud dengan tidak ada tingkatan-tingkatan, ialah ilmu (tahu) Alah Ta’ala terhadap sesuatu itu, tidak ada tingkatan-tingkatan tersebut di atas.
            4. Tidak didahului oleh jahil (tidak tahu)
            Tahu (ilmu) manusia selamanya didahului oleh tiada ilmu (tidak tahu), hal ini merupakan kemestian bagi manusia, disebabkan manusia itu sendiri adalah hadits (adanya didahului oleh tiada) yakni tidak qadim.
            Maka sudah semestinya ilmu bagi manusia itu, suatu yang mendatang pula yakni, sesudah manusia itu ada, baru sedikit demi sedikit ilmunya bertambah, dan ia tahu sebagaimana diterangkan oleh penciptanya sendiri dalam ; Q.S. An-Nahl  : 78
وَاللهُ أَخْرَجَكُمْ مِـنْ بٌطٌوْنِ أُمَّـهَـاتِـكُـمْ لاَ تَعْـلَمُـوْنَ شَـيْـئًا وَجَـعَلَ لَكُمُ السَّـمْعَ وَ الأَبْـصَـارَ وَالأَفْـئِـدَةَ لَـعَـلَّـكُمْ تَـشْكُـرُوْنَ
Artinya : Dan Allah Ta’ala mengeluarkan (melahirkan) kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun dan Ia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan pemikiran agar (hati) kamu bersyukur.
            Ayat tersebut menegaskan bahwa, ilmu manusia berangsur-angsur datangnya, berlainan halnya dengan ilmu Allah Ta’ala, yang tidak berangsur-angsur adanya, dan tidak pernah adanya didahului oleh tiada karena sifat ilmunya berada tetap dengan zatNya.

B. Mustahil Jahil (Tidak Tahu)
            Yaitu mustahil Allah Ta’ala bersifat jahil atau tidak tahu. Yang dimaksud dengan jahil ialah. Kebalikan dari pengertian ilmu yang lalu yaitu :
1.      Tidak tahu segala-galanya
2.      Tahu sebahagiannya, tidak tahu sebahagian atau ada sesuatu yang tidak diketahuinya.
3.      Tahu segala-galanya, tetapi dengan perantara.
4.      Tahu segala-galanya tanpa perantara, tetapi mempunyai tingkatan seperti melalui proses; mengetahui, lebih tahu, maha tahu dan sangat Maha Tahu.
5.      Tahu segala-galanya tanpa perantara, yang tidak mempunyai tingkatan-tingkatan tetapi, didahului oleh tiada tahu (pernah belum tahu)
6.      Termasuk dalam kata-kata jahil, yaitu ; Syak, Zhan, dan Waham Tuhan, atau IA tahu dengan melalui nazhar (penelitian) dan Istidlal atau dengan susah dan dengan mudah atau IA tahu seperti i’tiqad jazim atau didatangi lupa, silap dan lalai atau IA mengetahui sesuatu hanya secara global, semua itu mustahil atasNya.
Maka himpunan keenam inilah, yang dimaksud dengan nama jahil sebagai lawan/kebalikan dari ilmu.
Allah Ta’ala Maha Tahu (‘alimun) yang wajib menurut akal IA bersifat ilmu, maka tidak ada suatu apapun yang terlepas dari pengetahuanNya, ilmuNya meliputi hal yang wajib, hal yang mustahil dan hal yang mumkin (jaiz). DiketahuiNya segala yang berwujud ataupun yang tidak, segala yang nampak ataupun yang tidak, segala yang dirasa atau yang tidak, yang kesimpulannya wallahu a’alam Ia jualah yang mengetahui, karena tersingkap kepadaNya segala-galanya.



B. Uraian Sifat Sama’ Dan Bashar
1. Sifat Sama’
            1. Allah Ta’ala berfirman :
وَاللهُ هُـوَ السَّـمِـيْعُ الْعَـلِـيْـمُ ( الـمـائـدة : 76 )
            Artinya : “Dan Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
1.      Pengertian sama’ adalah mendengar tanpa perantara, tidak dipengaruhi oleh jarak yang jauh atau dekat, tidak dipengaruhi oleh keras atau pelan, tidak dipengaruhi oleh nyaring atau lembut dari sesuatu yang didengar.
2.      Mustahil Allah Ta’ala tidak mendengar (tuli). Yang dimaksud dengan tidak mendengar adalah meliputi :
a.       Tidak mendengar sama sekali
b.      Mendengar hanya sebahagian saja (sedikit) dari yang didengar
c.       Mendengar dengan perantara.
d.      Mendengar dengan tanpa perantara, tetapi dipengaruhi oleh jarak dekat atau jauhnya sesuatu yang didengar.
e.       Mendengar tanpa perantara, tetapi dipengaruhi oleh volume atau ukuran keras, kecil, nyaring dan halusnyasesuatu yang didengar.
Penjelasan
a.       Mendengar dengan perantara seperti halnya manusia mendengar dengan telinga, diantarkan oleh udara atau oleh gelombang atau amplitudo, seperti: radio, televisi, telephone, handphone.
b.      Dipengaruhi oleh jarak jauh atau dekatnya sesuatu yang didengar. Seperti halnya manusia, karena manusia tdak dapat mendengar sesuatu yang jaraknya jauh atau terhalang oleh dinding atau tembok. Kelaupun terdengar tetapi tidak jelas. Tidak dibarengi oleh suara hiruk pikuk, seperti gemuruh atau suara pesawat, dan segala yang membatasi pendengaran. Tidak lenyap dari pendengaran Allah Ta’ala segala yang didengar, walaupun yang didengar itu tersembunyi, karena IA Maha Mendengar. IA mendengar tanpa lubang telinga, tanpa gendang telinga dan tanpa alat pendengaran.
c.       Dipengaruhi oleh besar kecilnya sesuatu yang didengar, seperti halnya pendengaran manusia. Manusia tidak dapat mendengar suara yang sangat kecil atau sangat halus. Berarti pendengaran manusia dipengaruhi oleh keras, halus, nyaring atau lembut dari sesuatu yang didengar itu. Ketiga hal ini tidak ada pada sama’ Allah Ta’ala, karena memang sifat sama’ Allah Ta’ala berbeda dengan sifat sama’ manusia.



2. Sifat Bashar
Sifat bashar adalah sifat yang berdiri dengan Zat Allah dan nyata bagiNya dengan sifat itu segala yang maujud.
صِـفَةٌ قََـائِـمَـةٌ بِـذَاتِـهِ يَـنْـكَشِـفُ لَـهُ بِـهَـا كُـلُّ مَـوْجُوْدٍ
ِAllah Ta’ala berfirman :
إِنَّ اللهَ بِـمَـا تَـعْـمَلُوْنَ بَـصِـيْرٌ ( البـقـرة : 11 )
Artinya : “ Sesungguhnya Allah Ta’ala Maha Melihat  terhadap segala sesuatu yang kamu kerjakan".
            Yang dimaksud dengan bashar adalah melihat tanpa perantara, tidak dipengaruhi oleh jarak jauh atau dekatnya sesuatu yang dilihat, tidak dipengaruhi oleh bentuk besar atau kecilnya sesuatu yang dilihat itu dan tidak juga dipengerahi oleh tempat sesuatu yang dilihat (lahir atau bathin).
Mustahil Allah Ta’ala tidak melihat (buta). Yang dimaksud dengan tidak melihat (buta) adalah meliputi :
a.       Tidak melihat sama sekali.
b.      Melihat sebahagian saja, berarti ada yang tidak dilihat
c.       Melihat dengan perantara
d.      Melihat tanpa perantara, tetapi dipengaruhi oleh jarak jauh atau dekatnya sesuatu yang dilihat itu, atau dibatasi oleh dinding dan tembok
e.       Melihat tanpa perantara, tetapi dipengaruhi oleh bentuk dari sesuatu yang dilihat, seperti sangat halus atau sangat kecil.
Penjelasan
a)      Melihat dengan perantara adalah melihat dengan alat, seperti melihat dengan biji mata, kelopak mata, dengan cahaya, dengan kaca mata, teleskop, thedolit dan teropong.
b)      Dipengaruhi oleh jarak jauh atau dekat, terdinding atau lepas, lahir atau bathin, berserak atau terkumpul, bersebelahan atau berhadapan. Manusia tidak dapat melihat sesuatu yang sangat dekat atau yang sangat jauh.
c)      Dipengaruhi oleh bentuk besar atau kecil, halus atau kasarnya sesuatu yang dilihat. Penglihatan Allah Ta’ala berbeda dengan penglihatan manusia, sebab manusia tidak dapat melihat sesuatu yang sangat kecil atau yang sangat halus kecuali dengan alat bantu penglihatan.






C. Uraian Sifat Kalam Allah Ta’ala

قال الله تعالى : وَكَلَّـمَ اللهًُ مُوْسَى تَكْـلِـيْمـًا ( النّـسـاء :124)
Dan telah berkata-kata Allah Ta’ala kepada Musa dengan kalam sempurna
a.       Yang dimaksud dengan kalam yang merupakan sifat Allah Ta’ala adalah perkataan Allah Ta’ala yang tidak berhuruf dan tidak bersuara.
Yang tidak berhuruf dan tidak bersuara itu memastikan tidak terdahulu dan tidak terkemudikan.
b.      Mustahil tidak berkalam (kelu), yang dimaksud dengan tidak berkalam (kelu) adalah meliputi :
a.       Tidak bersifat kalam sama sekali
b.      Bersifat kalam tetapi kalam itu berhuruf dan bersuara yang memastikan tersdahulu dan terkemudian.
 Penjelasan
            1. Kalam ada dua macam
            a. Kalam Nafsi :
            Yang dimaksud dengan kalam nafsi ialah kalam yang tidak berhuruf dan tidak bersuara.
            Jelasnya, apabila  si A bertanya kepada si B ini apa ? serta menunjukkan kepada sesuatu yang dijadikan harga dalam jual beli, kemudian si B menjawab dengan jawaban bukan kata-kata, yang mana kata-kata adalah merupakan unsur bahasa.
            Bila jawaban itu dijelmakan ke dalam bahasa Indonesia, maka terdengar lafaz “uang:” bila jawaban itu dijelmakan dengan bahasa Inggris maka terdengarlah lafaz “ money” bila jawaban itu dijelmakan dengan bahsa Arab maka terdengarlah lafaz “ fulus”, maka uang, money, dan fulus adalah ibarat dari kalam nafsi yang asda padsa si B.
            b. Kalam Lafzi.
            Yang dimaksud dengan kalam lafzi ialah lafaz yang mengibaratkan kalam nafsi itu, maka pada contoh tadi dapat diketahui bahwa lafaz uang, lafaz money, lafaz fulus adalah kalam lafzi.

2. Kalam Allah
 Kalam Allah Ta’ala itu diartikan dalam dua arti, yaitu :
a.       Kalam Nafsi ; yang tidak berhuruf dan tidak bersuara yang memastikan tidak terdahulu dan tidak terkemudian.
b.      Al-Qur’an yakni lafaz yang diturunkan oleh Jibril kepada Rasulullah SAW yang tertulis dalam mushaf.

3. Al-Qur’an diartikan dalam tiga arti, yaitu ;
a.       Kalam Nafsi yang tidak berhuruf dan tidak bersuara sama dengan arti kalam Allah Ta’ala dalam arti pertama (a).
b.      Lafaz yang diturunkan Jibril kepada Rasulullah SAW, yang tertulis dalam mushaf dalam arti yang kedua (b)
c.       Mushaf itu sendiri yakni yang didalamnya tertulis Al-Qur’an dalam arti yang ketiga (c).
Pengertian kalam Allah dan Al-Qur’an yang berbeda-beda itu mengakibatkan berbeda-beda hukum yang tertuju kepadanya. Berbeda-bedanya hukum karena berbeda-beda pengertian tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Kalam Allah Ta’ala dalam pengertian yang pertama (a) adalah qadim karena ia adalah salah satu dari sifat-sifat Allah Ta’ala
2.      Kalam Allah Ta’ala dalam pengertian kedua (b) adalah hadits karena ia lafaz yang diturnkan oleh Jibril yang memastikan terpisah dari zat Allah Ta’ala yang bukan sifatNya, tetapi adalah ciptaanNya maka itu makhluk.
3.      Al-Qur’an dalam pengertian yang pertama (a) adalah qadim karena ia adalah sifat Allah Ta’ala
4.      Al-Qur’an dalam pengertian yang kedua (b) adalah hadits karena ia diturunkan oleh Jibril yang memastikan terpisah dari zat Allah Ta’ala (bukan sifat)
5.      Al-Qur’an dalam pengertian yang ketiga (c) adalah hadits karena dibuat (ditulis) oleh manusia dan haram menyentuhnya bagi orang yang berhadas besar maupun yang berhadas kecil[i].
6.      Pahala membaca Al-Qur’an dalam pengertian yang kedua (b) itulah yang dihadiahkan kepada orang yang sudah mati.
7.      Kaifiat turunnya Al-Qur’an.
Terdapat tiga pendapat ulama tentang kaifiat turunnya Al-Qur’an yakini, apa yang dituturkan oleh Jibril dan apa yang diterima oleh Rasulullah SAW.
a.       Makna saja ; lafaznya adalah dari Jibril yakni ibarat dari Jibril
b.      Maknanya saja, lafaz adalah dari Rasulullah SAW, yakni ibarat dari Rasulullah SAW.
c.       Makna dengan lafaz, berarti bahwa yang diturunkan Jibril dan yang diterima Rasulullah SAW, adalah makna dan lafaz, yakni makna dan lafaz kedua-duanya adalah langsung dari Allah Ta’ala sendiri.,
Pendapat ketiga (c) adalah pendapat ahlissunnah wal jama’ah yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.


[i] Namun tidak boleh dikatakan bahwa Al-Qur’an itu baharu secara muthlaq karena termasuk disegala pengertian

No comments:

Post a Comment