RSS

Thursday, January 13, 2011

F. Martabat Tauhid

Dalam aqidah Ahlissunnah, tauhid itu sendiri ada 3 martabat
a. Tauhid af’al
b. Tauhid Sifat
c. Tauhid Zat
Ad. a. TAUHID AF’AL
Tauhid af’al yaitu, mengesakan Allah Ta’ala pada segala perbuatan, menurut pandangan bathin atau syuhud, bahwasannya segala perbuatan yang berlaku di dalam alam semesta ini sekaliannya, tertib dari pada Allah Ta’ala. Maka tidak ada yang mempunyai perbuatan di alam ini satu zarrah pun, kecuali perbuatan Allah Ta’ala pada hakekatnya. Walaupun pada lahirnya secara majazi (bayangan) timbul dari kehendak makhluk.
Rasulullah bersabda : لاَ تَتَحَرَّكُ ذَرَّةٌ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ
Artinya :Tiada bergerak satu zarrah pun (di dalam alam ini), kecuali dengan izin Allah Ta’ala .
Dan sabdanya :
لاَ حَـوْلَ وَلاَ قُـوَّةَ إِلاَّ بِـاللهِ الْعَـلِىِّ الْعَظِـيْـمِ
Artinya : Tiada daya (pada menjauhkan maksiat ) dan tiada upaya ( pada mengerjakan ta’at ), melainkan dengan daya upaya Allah Ta’ala, yang Maha Tinggi dan Maha Agung.
Allah Ta’ala mengisyaratkan adanya tauhid af’al, pada firman-Nya. (Q.S. As.Shoffat ayat 96) :
وَاللهُ خَـلَقَكُمْ وَمَـا تَـعْـمَلُـوْنَ Artinya : Dan Allah Ta’ala telah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.
Dalam firman yang lain, Allah Ta’ala mengisahkan, ketika nabi Muhammad melempar musuhnya, dengan firmanNya :
وَمَـا رَمَـيْتَ إِذْ رَمَـيْتَ وَلكِنَّ اللهَ رَمَى (Q.S. Al-Anfal : 17 )
Artinya : Tiadalah engkau melempar ya Muhammad tatkala berusaha melempar, tetapi Allah Ta’ala jualah ( pada hakekatnya ) yang melempar tatkala itu.
Berdasarkan isyarat dari hadis dan ayat diatas ini, bahwa tauhid af’al menjadi jelas adanya, sehingga tidak ada suatu zarrahpun perbuatan makhluk di dalam alam ini , baik rupanya yang baik, maupun dalam bentuk yang buruk. Semua itu pada hakekatnya adalah, tertib dari qudrat iradat Allah Ta’ala, dalam syuhud ( pandangan ) bathin orang yang bertauhid itu pada martabat tauhid af’al.
Ad. b. TAUHID SIFAT
Tauhid sifat yaitu : mengesakan Allah Ta’ala pada segala sifat yang berdiri (ada) pada zat Allah Ta’ala, yakni ibarat fana (binasa) dalam syuhud hamba, segala sifat makhluk ke dalam sifat Allah Ta’ala.
Dalam tauhid sifat ini, ada dua teori
a. Tauhid sifat dan asma’, menurut teori Faham Salaf
b. Tauhid sifat dan asma’ menurut teori Ahlissunnah
a.Tauhid Sifat dan Asma’, menurut kaum salaf yaitu ; menetapkan segala sifat dan segala asma’ Allah Ta’ala, yang disebutkanNya di dalam firman-Nya tentang diriNya atau oleh Rasul-Nya, tanpa di takwilkan (ditafsirkan) kepada pengertian yang lain. Tetapi mentafwidkannya (menyerahkannya) kepada Allah Ta’ala, dengan tanpa tasybih (penyerupaan) kepada makhluk, meskipun namanya sama, tetapi hakekatnya tanzih (berbeda) seperti wajah, yad (tangan) dan istiwa (bersemayam) di atas arsy.

b.Tauhid sifat dan asma`, menurut ahlissunnah, sebagai mana telah lalu definisinya. Dengan kaifiyat syuhud bathin bahwa, segala sifat berdiri kepada zat seperti; qudrat, iradat, sama`, bashar, kalam, ilmu, dan hayat, sekalian itu adalah, sifat Allah Ta`ala. Karena tidak ada satu zat pun yang bersifat dengan segala sifat itu, pada hakekatnya melainkan zat Allah Ta`ala. Walaupun segala sifat ini, dibangsakan kepada makhluk atas jalan majaz. Dan kepada makhluk sebagai mazhar (tempat memandang), dari sifat Allah Ta`ala jua, baik dengan sebutan; (diciptakan Allah, dipinjamkan Allah, maupun dilimpahkan Allah kepada makhlukNya) bukan secara hakekatnya.
Adapun dalil yang menunjukkan atas bahwasanya, tiada bagi hamba sekalian sifat ini dalam syuhud, tetapi yang ada adalah mazhar sifat Allah Ta`la jua, adalah firmanNya dalam hadis qudsi
مَاتَـقَرَّبَ اِلَىَّ الْمُتَـقَرِّبُوْنَ بِمِثْلِ أَدَاءِ مَا اِفْـتَـرَضْتُ عَلَيْهِمْ وَلاَ يَزَالُ الْعَبْدُ يَـتَـقَرَّبُ اِلَـيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتىَّ أُحِبَّهُ فَـإِذَا أَحْبَـبْتُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِى يَبْصِرُ بِهِ وَلِسَانَهُ الَّذِى يَنْطِقُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِى يَـبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا وَقَلْبَهُ الَّذِى يَضْمِرُ بِهِ
Artinya : Tiadalah menghampirkan diri kepadaKU, orang-orang yang menghampirkan diri, dengan mengerjakan segala yang telahKU fardlukan atas mereka. Dan senantiasa hambaKU menghampirkan diri kepada KU, dengan sebab mengerjakan segala ibadah yang sunnah, sehingga AKU mengasihinya (menjadi kekasihnya dan AKU kasih padanya). Maka apabila AKU telah kasih kepadanya, niscaya AKUlah menjadi pendengarnya yang mendengar ia dengannya, penglihatan yang melihat ia dengannya, lidahnya yang bertutur kata ia dengannya, tangannya yang memegang ia dengannya, kaki yang berjalan ia dengannya dan hati yang bercinta ia dengannya, (H.R. Bukhari Muslim)

Oleh karena itu, ahli kassyaf (orang yang terbuka hijab) dalam tauhid sifat dan asma`, di dalam syuhud mereka melalui zuq dan wijdan (rasa) bahwa, tiada yang hidup, tiada yang mengetahui , tiada yang berkuasa, tiada yang berkehendak, tiada yang mendengar, tiada yang melihat, tiada yang berkata-kata pada hakekatnya, melainkan Allah Ta`ala. Adalah zhahir sifat itu kepada makhluk, hanya sebagai tempat memandang mazhar sifat Allah Ta’ala, seperti ; kasih, sayang, sabar, pemaaf dan lain-lain, itulah hakekat makna.
لاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِىِّ الْعَظِيْمِ
Hal ini, sesuai dengan Sabda Nabi, riwayat Ahmad ;
لاَ أُحْصِي ثَـنَاءً عَلَـيْـكَ أَنْتَ كَمَـا أَثْـنَـيْتَ عَلَى نَـفْسِـكَ
Artinya : Saya tidak mampu menghitung pujian kepadaMu, sebagaimana Engkau memuji diriMu. (puji qadim kepada qadim)
Di dalam Al-Qur'an, Allah mengisyaratkan, dalam kisah malaikat, ketika ditantang menjadi khalifah di muka bumi ini, dengan firmanNya :
قَالُوْا سُـبْحـنَـكَ لاَ عِلْـمَ لَنـَا إِلاَّ مَـا عَلَّـمْـتَـنَا.
Artinya : Mereka (para malaikat) menjawab, “ maha suci Engkau, (Tuhan) tidak ada ilmu bagi kami, kecuali yang engkau telah berikan kepada kami”
Dengan ini, dapat difahami bahwa, tiada ilmu kecuali ilmu Allah Ta`ala dan tiada kekuasaan kecuali kekuasaan dari Allah Ta`ala dan seterusnya.

ad. C. TAUHID ZAT
Tauhid zat yaitu, mengesakan Allah Ta`ala pada segala zat, bahwa tiada yang maujud didalam alam ini (didalam syuhud kita), hanya Allah Ta`ala. Sementara wujud selain Allah itu, tiada mempunyai hakikat wujud, hanya seperti wujud bayang-bayang yang tiada mempunyai hakikat bila dibanding dengan aslinya (hakikatnya)
Tauhid zat ini, difahami dari isyarat firman Allah Ta`ala ;
فَـأَيْـنَـمَا تُـوَلَُـوْا فَـثَـمَّ وَجْـهُ اللهِ
Artinya : ke mana saja kamu menghadap maka di sana ada wajah (zat) Allah Ta`ala (Q.S. Al-Baqarah : 115.)
Sabda Rasul menyatakan : أَلاَ كُـلُّ شَيْءٍ مَـا خَـلاَ اللهُ بَاطِـلٌ
Artinya : Ketahuilah, segala sesuatu selain Allah itu, bathil (tidak ada wujud hakekatnya) Hal ini, sesuai dengan isyarat firman Allah, dalam Q.S. Ar-Rahman : 27 artinya :“ semua wujud diatas dunia akan binasa kecuali wujud Allah”.
Itulah makna hakekat ucapan ahli kasysyaf.
لاَ مَوْجُـوْدَ فِى الْحَـقِـيْـقَـةِ إِلاَّ اللهُ
Artinya : Tidak ada yang maujud (tetap ada) pada hakekatnya, melainkan Allah

Wednesday, January 12, 2011

E. Hakekat Wahdâniyat


            Menurut imam As- Sanusi, wahdâniyat  artinya adalah ; tidak ada yang menduai Allah Ta’ala  pada zat, sifat dan fi’il-Nya.[i] Maksudnya adalah , esa zat, sifat dan fi’il-Nya. Maka wajib ternafi enam “kam” (berbilang), sebagai yang telah lalu, yaitu :

1.      Tidak ada kam muttasil pada zat. Maksudnya adalah, Zat Allah Ta’ala  tidak terdiri dari beberapa elemen atau anasir. Dengan kata lain bahwa Zat Allah Ta’ala  tidak tersusun dari bagian-bagian atau juju’–juju’

2.      Tidak ada kam munfasil pada zat. Maksudnya adalah, tidak ada suatu zat apapun yang menyerupai Zat Allah Ta’ala  kapan dan dimana saja. Artinya tidak ada bandingan dan persamaan bagiNya

3.      Tidak ada kam muttasil pada sifat. Maksudnya adalah, sifat–sifat Allah Ta’ala, tidak ada yang dua-dua atau lebih dari satu nama, tetapi sifat-sifat Allah Ta’ala  itu hanya satu-satu. Misalnya Allah Ta’ala  tidak bersifat dengan dua qudrat atau lebih, karena akan menjadi tidak mutlak atau tidak umum kekuasaan-Nya, padahal Ia adalah, “ yang maha “

4.      Tidak ada kam munfasil pada sifat. Maksudnya adalah, tidak ada sifat dari selain Allah Ta’ala  yang dapat menyerupai sifat-sifat-Nya.

5.      Tidak ada kam muttasil pada fi’il (perbuatan–Nya). Maksudnya adalah, tidak ada selain Allah Ta’ala , yang bersama-sama Allah Ta’ala dalam membuat sesuatu atau dalam menjadikan sesuatu, tidak ditolong atau dikawani. Dengan kata lain, tidak ada sekutu bagi Allah dalam berbuat dan tidak memakai pembantu atau penolong , dalam segala fi’il-Nya.

6.      Tidak ada kam munfasil pada fi’il. Maksudnya adalah; tidak ada perbuatan (kejadian),yang telah terjadi, yang sedang terjadi, yang akan terjadi yang dilakukan oleh fi’il selain fi’il Allah Ta’ala.[ii] Tegasnya, apapun yang terjadi di alam semesta ini, berasal dari tertib fi’il-Nya, tanpa ada campur tangan orang lain atau makhluk.



Keterangan Sifat Wahdâniyat Lebih Jauh.

Memahami enam kam, yang harus ternafikan, agar terwujud makna wahdâniyat, maka perlu ada penjelasan lebih lanjut, yaitu :

1). Jika ada kam muttasil pada Zat, maka menurut akal sehat, pasti Zat itu tidak akan keluar dari salah satu kemungkinan yang mustahil, yaitu :

                              a.          Masing-masing bagian atau unsur, pasti mempunyai sifat ketuhanan.

                              b.          Sebagian elemen saja, yang bersifat ketuhanan

                              c.          Sifat-sifat ketuhanan itu, hanya akan ada pada himpunan atau kesatuan unsur-unsur tersebut.

Maka ketiga macam alternatif ini adalah, mustahil, karena masing-masing kemungkinan memastikan ada tuhan yang lemah. Untuk lebih jelasnya, akan diuraikan lebih lanjut, yaitu :

1. Kemungkinan pertama :

Jika masing-masing unsur mempunyai sifat ketuhanan, pasti masing-masing unsur itu menjadi tuhan. Maka akan terjadi banyak tuhan, padahal adanya tuhan selain Allah Ta’ala  adalah, mustahil, karena akan terjadi kam munfasil, yang pasti juga mustahil.

2.   Kemungkinan kedua

Jika sifat ketuhanan hanya terdapat pada sebagian unsur, maka unsur-unsur yang lain adalah bukan tuhan, tetapi baharu. Bila tuhan mempunyai unsur-unsur (ada kam muttasil pada Zat), tentu tuhan yang semacam itu, terdiri dari unsur-unsur qadîm dan unsur-unsur hadits. Sedangkan setiap yang hadits tidak akan maujûd, jika tidak diciptakan. Maka bila Allah Ta’ala  mempunyai anasir, berarti Ia menciptakan sebagian unsur-Nya sendiri. Hal yang seperti ini sangat mustahil, karena akal tidak pernah menerima bahwa, ada tuhan yang menciptakan unsur-Nya sendiri, dengan arti, sebelum unsur itu ada, maka IA belum menjadi Tuhan atau bukan Tuhan. Bagaimana mungkin IA menciptakan anasir Tuhan sedang ia belum menjadi tuhan?, sungguh tidak masuk akal atau sangat mustahil.





3. Kemungkinan ketiga

Andaikata sifat-sifat ketuhanan itu, hanya terdapat pada himpunan anasir (kesatuan elemen-elemen), maka pastilah masing-masing dari unsur secara terpisah bukan Tuhan, karena tidak mempunyai sifat-sifat ketuhanan lagi. Sebab bila terhimpun, ia menjadi Tuhan dan bila terpisah, ia tidak menjadi Tuhan.

Keadaan seperti ini,  memastikan bahwa, Tuhan itu terdiri dari unsur-unsur yang bukan Tuhan, padahal setiap yang bukan Tuhan, disebut baharu atau hadits, maka Tuhan terdiri dari beberapa unsur hadits. Hal ini sama sekali tidak dapat diterima akal, karena membawa kepada tasalsul atau daur yang telah jelas kemustahilannya bagi Allah Ta’ala .

Berdasarkan keterangan ini, maka mustahil ada kam muttasil pada Zat Allah Ta’ala. Artinya, mustahil Zat Allah Ta’ala  tersusun atau terdiri dari beberapa bagian atau anasir.



2). Jika ada kam munfasil pada zat, maka menurut akal akan ada tuhan selain Allah Ta’ala , sehingga tidak akan luput dari salah satu tiga kemungkinan, yaitu:

            a. Tuhan kehendak menciptakan alam, sedangkan tuhan tidak hendak menciptakannya

            b Tuhan A dan tuhan B, sama-sama hendak menciptakan alam

            c. Tuhan A dan tuhan A, sama-sama hendak menciptakan alam dengan cara membagi tugas. Siapa yang akan membagi ?

            Sesungguhnya ketiga macam kemungkinan ini adalah, mustahil pada akal, karena akan ada tuhan yang tidak mempunyai sifat-sifat ketuhanan yang mutlak dan umum. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut :



1.      Kemungkinan pertama

Secara nyata telah jelas bahwa, alam ini sudah ada, berarti telah berlaku qudrat dan irâdat tuhan A, sedangkan tuhan B qudrat dan irâdatnya belum atau tidak berlaku. Oleh karena itu, dengan sendirinya tuhan B itu bukan tuhan yang maha kuasa, karena qudrat dan irâdatnya tidak berlaku atau tidak berfungsi. Jika qudrat dan irâdatnya berlaku, maka akal kita memastikan bahwa, alam tidak akan terjadi, sebab masing-masing tuhan akan saling halang-menghalangi dan yang kalah bukan tuhan. Padahal dalam kenyataan,. alam ini telah tercipta dan pasti adanya. Hal ini menunjukkan bahwa, hanya ada satu tuhan yaitu, Allah Ta’ala  sang pencipta alam semesta. Dengan demikian, semakin jelas makna dan maksud wahdâniyat, dengan menafikan kam muttasil dan kam munfasil pada Zat Allah Ta’ala[iii].

2.      Kemungkinan kedua

Diantara alam ini, ada yang jauhar fard (atom) atau sesuatu yang tidak mempunyai bagian-bagian, lalu setiap jauhar fard itu, mustahil diciptakan oleh dua tuhan, mengingat bahwa, jauhar fard tidak mempunyai bagian-bagian, bagaimana dibagi oleh dua tuhan. Kenyataannya, jauhar fard telah ada, maka hal ini memastikan bahwa, qudrat dan irâdat tuhan A telah berlaku, tentunya qudrat dan irâdat tuhan B tidak ta’alluq kepada yang umum. Setiap qudrat dan irâdat yang tidak mempunyai ta’alluq umum, bukan sifat tuhan. Karena berindikasi bahwa, tuhan tersebut lemah, dan yang lemah bukan tuhan. Oleh karenanya, mustahil ada tuhan saelain Allah Ta’ala,  sebagai pencipta jauhar fard dan pencipta jauhar fard itu pasti Esa.



2.      Kemungkinan ketiga

Jika tuhan A menciptakan sebagian alam ini, dan sebagian lagi diciptakan oleh tuhan B, maka qudrat dan iradat keduanya, tidak ta’alluq kepada umum atau tidak berlaku secara mutlak kepada seluruh yang mumkin. Hal ini memastikan bahwa, kedua-duanya lemah dan tidak sanggup mengalahkan yang lainnya, tentu alam ini tidak akan ada. Akan tetapi kenyataannya, alam ini  telah ada, tentu penciptanya adalah, tuhan yang umum qudrat dan irâdatNya. Tuhan itu pasti Esa, yaitu Allah Ta’ala  sang pencipta alam semesta.

            Berdasarkan Keterangan ini, maka mustahil ada kam munfasil pada Zat Allah Ta’ala. Andaikata ada kam munfasil itu, tentu memastikan ada tuhan selain Allah Ta’ala, sebagai pencipta alam dan pernyataan ini telah ditolak, karena kemustahilannya.



3). Jika ada kam muttasil pada sifat, maka sifat Allah Ta’ala  akan mempunyai ta’alluq yang tidak umum, dan sifat–sifat yang tidak mempunyai ta’alluq umum, tidak akan berfaedah, walaupun berbilang-bilang menurut akal.

Ketidak umuman ta’alluq sifat-sifat, yang mempunyai ta’alluq itu adalah, mustahil, karena hal yang demikian bukan sifat-sifat ketuhanan. Tidak berfaedah berbilang-bilang sifat, yang tidak mempunyai ta’alluq umum dan itu adalah, hal yang mustahil, karena akan ada sifat-sifat yang berdiri sendiri dan tidak berdiri pada Zat, tentu hal tersebut sangat mustahil sekali ada sifat tanpa zat



            4). Jika ada kam munfasil pada sifat, maka akan ada suatu zat baharu mempunyai sifat-sifat ketuhanan. Adanya suatu zat yang baharu dengan mempunyai sifat-sifat ketuhanan adalah, mustahil. Karena hal tersebut memastikan zat hadits bersifat dengan sifat-sifat qadîm. Memastikan ada sifat tanpa zat, disaat zat yang baharu, belum diciptakan. Hal itu sangat mustahil pula.



            5). Jika ada kam  muttasil pada fi’il, maka akan ada sesuatu selain Allah, yang membantu atau menolong-Nya, dalam memperbuat suatu (fi’il) perbuatan. Adanya sesuatu yang membantu atau sekutu Allah Ta’ala  dalam perbuatan adalah mustahil, karena hal itu memastikan qudrat dan irâdat Allah Ta’ala, menjadi hal yang tidak sempurna ta’alluqnya secara umum atau tidak mutlak pada suatu perbuatan, yaitu bagian perbuatan yang dibantu itu.

            Ketidak sempurnaan ta’alluq qudrat dan irâdat Allah Ta’ala , sangat mustahil. Karena memastikan bahwa; qudrat dan irâdat Allah Ta’ala menjadi lemah, artinya berlaku ta’alluq tersebut secara tidak umum. Maka ketidakumumannya adalah, mustahil, sebagaimana yang telah diuraikan tentang ketidakadaan kam munfasil pada zat.



6). Jika ada kam munfasil pada fi’il, maka menurut akal sehat, akan ada sifat-sifat ketuhanan, yang berdiri pada zat selain Allah, yang dapat berbuat sesuatu diluar fi’il Allah. Adanya  sifat-sifat  ketuhanan,  yang  berdiri  pada  zat selain Allah adalah mustahil. Karena akan memastikan ada yang Maha fa’il (berbuat) persis dengan Zat Allah. Yaitu akan ada dua Zat Tuhan yang Maha berbuat dan ini sangat mustahil. Oleh karena itu, adanya kam munfasil pada fi’il, wajib dinafikan dan ditolak, demi keutuhan sifat wahdâniyat pada ; Zat, sifat dan fi’il Allah Ta’ala .

            Melalui keterangan yang sederhana ini, dapat dipahami bahwa, hakekat wahdâniyat adalah, menafikan enam macam “kam”, yang telah lalu keterangannya. Sehingga wahdâniyat sebagai inti dari ilmu tauhid, betul-betul murni dan sempurna, sesuai dengan firman Allah Ta’ala  dalam Q.S. Al-Ikhlas:1

قُـلْ هُـوَ اللهُ اَحَـدٌ

Artinya : “ Katakanlah, Dia-lah Allah yang Maha Esa.”

Kata “ahad” pada pangkal ayat itu, diterjemahkan dengan “ Maha Esa”, artinya, Esa pada Zat, Esa pada sifat dan Esa pada fi’il, yang telah dibuktikan melalui keterangan di atas, dengan menafikan enam kam.




[i] Teks Arabnya  الوحـدانـيـة أى لا ثانى له فى ذاته ولا فى صفاتـه ولا فى أفـعـالـه     Lihat as-Sanusi op cit hlm : 2

[ii] Muhammad Nawawi al-Jawi, op cit, hlm : 4

[iii] Syeikh Nawawi, ‘Tijan Darari’, OP.Cit.        Hal. 6

Tuesday, January 11, 2011

D. Hakekat Kalamullah

Semua aliran teologi Agama Samawi sependapat bahwa; Allah Ta’ala berkalam, dengan kalam itu Allah Ta’ala menyuruh dan melarang hamba-Nya berbuat sesuatu, baik langsung maupun melalui Rasul-Nya. Mereka tidak berbeda pendapat tentang eksistensi kalam (wujudiahnya) dan menisbahkan kalam itu kepada Allah Ta’ala. Mereka berbeda pendapat tentang kuiditas kalam itu (mahiyahnya), apakah kalam itu aksiden temporal (arad hadits) sebagai sifat kreatif (sifat kerja) bagi Allah Ta’ala ? atau kalam itu substansi external (maujud qadim) sebagai sifat Zat Allah Ta’ala .
Kuiditas (Mahiyat) Kalam.
Aliran teologi Islam, tidak sependapat tentang kuiditas kalam (mahiyat kalam), sehingga mengakibatkan berbeda pendapat mereka terhadap kemestian-kemestian dari kuiditas kalam yang berbeda–beda itu. Disebabkan kesamaran tentang kuiditas kalam, maka tidak jarang timbul kekeliruan dalam memahami teori–teori Ahlus-Sunnah mengenai kalam sebagai salah satu sifat Allah Ta’ala . agar terhindar dari kesamaran yang mengakibatkan kekeliruan itu, penulis mencoba menguraikan kuiditas kalam menurut teori aliran teologi Islam sebagai berikut ;
Jumhur Ahlissunnah menyatakan ;
قَـالَ السَّـنُـوْسِىُ : كَـلاَمُ اللهِ بِـذَاتِـهِ هُـوَ صِـفَـةٌ أَزَلِـيَّـةٌ لَـيْـسَ بِحَـرْفٍ وَلاَ صَـوْتٍ وَلاَ يَـقْبَلُ الْعَـدَمَ وَمَـا فِـى مَـعْـنَـاهُ مِنَ السُّـكُوْتِ وَلاَ التَّـبْـعِـيْـضِ وَلاَ التَّـقَـدُّمِ وَلاَ التَّـنَـافُـرِ ( ام الـبـراهـيـن ١٧٢ )

Menurut Imam as-Sanusi Kalam Allah Ta’ala yang bersubstansi zat-Nya ialah; suatu sifat external yang tidak berbentuk huruf, tidak berbentuk suara, tidak pernah mengalami tiada, tidak yang semakna dengan tiada seperti diam, tidak terbagi-bagi, tidak terdahulu dan tidak terkemudian
Definisi ini memastikan bahwa; kalam itu bukan aksiden temporal (aradl hadits) sebagai sifat kreatif ( berbicara ), tetapi ia adalah sifat external bagi zat yang tidak pernah mengalami tiada baik pada permulaan, pada pertengahan maupun pada kesudahan (azali lagi abadi ). Maka kalam itu bukan bicara, tetapi ia adalah sifat zat yang senantiasa, ia bukan jenis suara yang terdiri dari huruf-huruf, karena suara yang demikian memastikan adanya prior dan posterior (taqaddum dan ta’akhur pada wujudnya ). Demikian juga taklim yang Iafirmasikan kepada Allah Ta’ala bukan berbicara karena berbicara itu didahului oleh tiada ( temporal ) yakni memulai yang sebelumnya tiada. Tetapi تـكـليمtaklim itu ialah memberikan kesanggupan kepada seseorang mendengar kalam yang bukan dari jenis suara itu.
Maka arti وكـلم الله موسى تكـلـيما menurut jumhur Ahlis-Sunnah ialah; Allah Ta’ala memberikan kesanggupan kepada nabi Musa untuk mendengar kalam Qadim yang bukan jenis suara itu; sehingga nabi Musa mendengar kalam itu dan dapat membaca maknanya yang mereka istilahkan dengan kalam nafsi.
Namun Abu Mansur Al Maturidi dari kalangan jumhur berpendapat bahwa; kalam qodim itu tidak termasuk objek sasaran pendengar karena ia bukan jenis suara. Maka arti :
وكـلـم الله مـوسى تـكـلـيـمـا menurut beliau ialah; Allah Ta’ala mengibaratkan / menjelmakan kalam qodim itu dengan bentuk suara, sehingga nabi Musa dapat mendengarnya. Apa yang ditunjuki oleh kalam yang didengar oleh nabi Musa persis sama dengan apa yang ditunjuki; oleh kalam Qodim yang tidak dapat didengarnya itu.

Monday, January 10, 2011

A. Uraian Khusus Sifat; Ilmu, Sama’, Bashar Dan Kalam Allah Ta’ala


A. Allah Ta’ala Bersifat Dengan Ilmu
     Firman Allah SWT dalam; Q.S. al-Anfal : 42
وَإِنَّ اللهَ لَـسَـمِـيْـعٌ عَـلِـيْـمٌ
Dan sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
            Yang dimaksud dengan ilmu ialah ; mengetahui, yakni Allah Ta’ala mengetahui segala-galanya dengan tidak ada perantara, tidak ada tingkatan-tingkatan dan tidak ada didahului oleh jahil (tidak tahu sebelumnya).
            Dalam pengertian tersebut ada empat unsur; yang harus diketahui secara mendalam , untuk dapat dimengerti maksud dari Ilmu, sebagai salah satu sifat Allah Ta’ala. Unsur-unsur yang dimaksud ialah :
            1. Segala-galanya
            Yang dimaksud dengan segala-galanya ialah ; segala yang wajib adanya, segala yang mustahil pada akal dan segala yang mumkin atau jaiz.
            Segala yang wajib meliputi, segala yang wajib ada pada akal dan segala yang wajib ada pada adat.
            Sedangkan segala yang mustahil , meliputi segala yang mustahil ada pada akal dan segala yang mustahil ada pada adat pula.
            Sementara segala yang mumkin, meliputi segala yang mumkin ada pada akal dan segala yang mumkin ada pada adat/yang jaiz.
            Maka jumlah segala-galanya itu, dapat dikelompokkan kepada beberapa kelompok, sebagai berikut :
  1. Segala yang wajib ada pada akal, misalnya zat Allah Ta’ala.
  2. Segala yang wajib ada pada adat. Misalnya ibu dari setiap anak
  3. Segala yang mustahil ada pada akal, misalnya anak Tuhan
  4. Segala yang mustahil ada pada adat, misalnya ada anak tanpa ibu.
  5. Segala yang mumkin ada pada akal, misalnya hujan besok turun
  6. Segala yang mumkin ada pada adat, misalnya ada anak lebih kecil badannya dari ayahnya.
2.  Tiada perantara
            Maksudnya, Allah Ta’ala mengetahui segala sesuatu itu hanya dengan ilmuNya, bukan sebagaimana halnya manusia mengetahui dengan melalui alat atau perantara.
            Manusia mengetahui sesuatu dengan bermacam-macam alat perantara seperti; pendengaran melalui telinga, penglihatan melalui mata; penciuman melalui hidung, perasaan dan sentuhan melalui kulit, mengetahui benar dan salah dengan akal. Maka, masing-masing perantara itu mempunyai kekhususan yang terbatas pula.
            Apabila perantara–perantara itu digunakan, tidak sesuai dengan kekhususannya yang terbatas itu, sudah pasti tidak akan mengahsilkan ilmu sama sekali.
            Oleh karena itu, berbeda dengan Allah Ta’ala yang mengetahui segala sesuatu itu secara langsung (inkisyaf) dengan tidak memerlukan perantara sama sekali.
            3. Tidak ada tingkatan-tingkatan
            Ilmu Allah Ta’ala tidak ada tingkatan-tingkatannya, berlainan halnya dengan ilmu manusia, ilmu manusia mempunyai tingkatan-tingkatan kwalitas yaitu :
      a.    Mulai dari tidak tahu, menjadi tahu.
      b.    Waham, yakni sangkaan yang ringan terhadap adanya sesuatu atau tidak adanya.
      c.    Syak, yakni sangkaan yang sama kuat terhadap adanya sesuatu atau tidak adanya
      d.    Zhan, yakni sangkaan yang kuat terhadap adanya sesuatu atau tidak adanya.
      e.    I’tiqad shahih, yakni yakin terhadap adanya sesuatu atau tidak adanya.
        f.    Ma’rifah, yakni yakin adanya sesuatu atau tidak adanya sesuatu, di mana keyakinan tersebut adalah hasil dari analisa dalil atau pengalaman melalui perantara
      g.    Atau manusia dapat berilmu (tahu) melalui; tahapan, tahu, mengetahui, kenal (ma’rifah), mengenal, lebih tahu, sangat tahu, dan seterusnya.
Maka yang dimaksud dengan tidak ada tingkatan-tingkatan, ialah ilmu (tahu) Alah Ta’ala terhadap sesuatu itu, tidak ada tingkatan-tingkatan tersebut di atas.
            4. Tidak didahului oleh jahil (tidak tahu)
            Tahu (ilmu) manusia selamanya didahului oleh tiada ilmu (tidak tahu), hal ini merupakan kemestian bagi manusia, disebabkan manusia itu sendiri adalah hadits (adanya didahului oleh tiada) yakni tidak qadim.
            Maka sudah semestinya ilmu bagi manusia itu, suatu yang mendatang pula yakni, sesudah manusia itu ada, baru sedikit demi sedikit ilmunya bertambah, dan ia tahu sebagaimana diterangkan oleh penciptanya sendiri dalam ; Q.S. An-Nahl  : 78
وَاللهُ أَخْرَجَكُمْ مِـنْ بٌطٌوْنِ أُمَّـهَـاتِـكُـمْ لاَ تَعْـلَمُـوْنَ شَـيْـئًا وَجَـعَلَ لَكُمُ السَّـمْعَ وَ الأَبْـصَـارَ وَالأَفْـئِـدَةَ لَـعَـلَّـكُمْ تَـشْكُـرُوْنَ
Artinya : Dan Allah Ta’ala mengeluarkan (melahirkan) kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun dan Ia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan pemikiran agar (hati) kamu bersyukur.
            Ayat tersebut menegaskan bahwa, ilmu manusia berangsur-angsur datangnya, berlainan halnya dengan ilmu Allah Ta’ala, yang tidak berangsur-angsur adanya, dan tidak pernah adanya didahului oleh tiada karena sifat ilmunya berada tetap dengan zatNya.

B. Mustahil Jahil (Tidak Tahu)
            Yaitu mustahil Allah Ta’ala bersifat jahil atau tidak tahu. Yang dimaksud dengan jahil ialah. Kebalikan dari pengertian ilmu yang lalu yaitu :
1.      Tidak tahu segala-galanya
2.      Tahu sebahagiannya, tidak tahu sebahagian atau ada sesuatu yang tidak diketahuinya.
3.      Tahu segala-galanya, tetapi dengan perantara.
4.      Tahu segala-galanya tanpa perantara, tetapi mempunyai tingkatan seperti melalui proses; mengetahui, lebih tahu, maha tahu dan sangat Maha Tahu.
5.      Tahu segala-galanya tanpa perantara, yang tidak mempunyai tingkatan-tingkatan tetapi, didahului oleh tiada tahu (pernah belum tahu)
6.      Termasuk dalam kata-kata jahil, yaitu ; Syak, Zhan, dan Waham Tuhan, atau IA tahu dengan melalui nazhar (penelitian) dan Istidlal atau dengan susah dan dengan mudah atau IA tahu seperti i’tiqad jazim atau didatangi lupa, silap dan lalai atau IA mengetahui sesuatu hanya secara global, semua itu mustahil atasNya.
Maka himpunan keenam inilah, yang dimaksud dengan nama jahil sebagai lawan/kebalikan dari ilmu.
Allah Ta’ala Maha Tahu (‘alimun) yang wajib menurut akal IA bersifat ilmu, maka tidak ada suatu apapun yang terlepas dari pengetahuanNya, ilmuNya meliputi hal yang wajib, hal yang mustahil dan hal yang mumkin (jaiz). DiketahuiNya segala yang berwujud ataupun yang tidak, segala yang nampak ataupun yang tidak, segala yang dirasa atau yang tidak, yang kesimpulannya wallahu a’alam Ia jualah yang mengetahui, karena tersingkap kepadaNya segala-galanya.



B. Uraian Sifat Sama’ Dan Bashar
1. Sifat Sama’
            1. Allah Ta’ala berfirman :
وَاللهُ هُـوَ السَّـمِـيْعُ الْعَـلِـيْـمُ ( الـمـائـدة : 76 )
            Artinya : “Dan Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
1.      Pengertian sama’ adalah mendengar tanpa perantara, tidak dipengaruhi oleh jarak yang jauh atau dekat, tidak dipengaruhi oleh keras atau pelan, tidak dipengaruhi oleh nyaring atau lembut dari sesuatu yang didengar.
2.      Mustahil Allah Ta’ala tidak mendengar (tuli). Yang dimaksud dengan tidak mendengar adalah meliputi :
a.       Tidak mendengar sama sekali
b.      Mendengar hanya sebahagian saja (sedikit) dari yang didengar
c.       Mendengar dengan perantara.
d.      Mendengar dengan tanpa perantara, tetapi dipengaruhi oleh jarak dekat atau jauhnya sesuatu yang didengar.
e.       Mendengar tanpa perantara, tetapi dipengaruhi oleh volume atau ukuran keras, kecil, nyaring dan halusnyasesuatu yang didengar.
Penjelasan
a.       Mendengar dengan perantara seperti halnya manusia mendengar dengan telinga, diantarkan oleh udara atau oleh gelombang atau amplitudo, seperti: radio, televisi, telephone, handphone.
b.      Dipengaruhi oleh jarak jauh atau dekatnya sesuatu yang didengar. Seperti halnya manusia, karena manusia tdak dapat mendengar sesuatu yang jaraknya jauh atau terhalang oleh dinding atau tembok. Kelaupun terdengar tetapi tidak jelas. Tidak dibarengi oleh suara hiruk pikuk, seperti gemuruh atau suara pesawat, dan segala yang membatasi pendengaran. Tidak lenyap dari pendengaran Allah Ta’ala segala yang didengar, walaupun yang didengar itu tersembunyi, karena IA Maha Mendengar. IA mendengar tanpa lubang telinga, tanpa gendang telinga dan tanpa alat pendengaran.
c.       Dipengaruhi oleh besar kecilnya sesuatu yang didengar, seperti halnya pendengaran manusia. Manusia tidak dapat mendengar suara yang sangat kecil atau sangat halus. Berarti pendengaran manusia dipengaruhi oleh keras, halus, nyaring atau lembut dari sesuatu yang didengar itu. Ketiga hal ini tidak ada pada sama’ Allah Ta’ala, karena memang sifat sama’ Allah Ta’ala berbeda dengan sifat sama’ manusia.



2. Sifat Bashar
Sifat bashar adalah sifat yang berdiri dengan Zat Allah dan nyata bagiNya dengan sifat itu segala yang maujud.
صِـفَةٌ قََـائِـمَـةٌ بِـذَاتِـهِ يَـنْـكَشِـفُ لَـهُ بِـهَـا كُـلُّ مَـوْجُوْدٍ
ِAllah Ta’ala berfirman :
إِنَّ اللهَ بِـمَـا تَـعْـمَلُوْنَ بَـصِـيْرٌ ( البـقـرة : 11 )
Artinya : “ Sesungguhnya Allah Ta’ala Maha Melihat  terhadap segala sesuatu yang kamu kerjakan".
            Yang dimaksud dengan bashar adalah melihat tanpa perantara, tidak dipengaruhi oleh jarak jauh atau dekatnya sesuatu yang dilihat, tidak dipengaruhi oleh bentuk besar atau kecilnya sesuatu yang dilihat itu dan tidak juga dipengerahi oleh tempat sesuatu yang dilihat (lahir atau bathin).
Mustahil Allah Ta’ala tidak melihat (buta). Yang dimaksud dengan tidak melihat (buta) adalah meliputi :
a.       Tidak melihat sama sekali.
b.      Melihat sebahagian saja, berarti ada yang tidak dilihat
c.       Melihat dengan perantara
d.      Melihat tanpa perantara, tetapi dipengaruhi oleh jarak jauh atau dekatnya sesuatu yang dilihat itu, atau dibatasi oleh dinding dan tembok
e.       Melihat tanpa perantara, tetapi dipengaruhi oleh bentuk dari sesuatu yang dilihat, seperti sangat halus atau sangat kecil.
Penjelasan
a)      Melihat dengan perantara adalah melihat dengan alat, seperti melihat dengan biji mata, kelopak mata, dengan cahaya, dengan kaca mata, teleskop, thedolit dan teropong.
b)      Dipengaruhi oleh jarak jauh atau dekat, terdinding atau lepas, lahir atau bathin, berserak atau terkumpul, bersebelahan atau berhadapan. Manusia tidak dapat melihat sesuatu yang sangat dekat atau yang sangat jauh.
c)      Dipengaruhi oleh bentuk besar atau kecil, halus atau kasarnya sesuatu yang dilihat. Penglihatan Allah Ta’ala berbeda dengan penglihatan manusia, sebab manusia tidak dapat melihat sesuatu yang sangat kecil atau yang sangat halus kecuali dengan alat bantu penglihatan.






C. Uraian Sifat Kalam Allah Ta’ala

قال الله تعالى : وَكَلَّـمَ اللهًُ مُوْسَى تَكْـلِـيْمـًا ( النّـسـاء :124)
Dan telah berkata-kata Allah Ta’ala kepada Musa dengan kalam sempurna
a.       Yang dimaksud dengan kalam yang merupakan sifat Allah Ta’ala adalah perkataan Allah Ta’ala yang tidak berhuruf dan tidak bersuara.
Yang tidak berhuruf dan tidak bersuara itu memastikan tidak terdahulu dan tidak terkemudikan.
b.      Mustahil tidak berkalam (kelu), yang dimaksud dengan tidak berkalam (kelu) adalah meliputi :
a.       Tidak bersifat kalam sama sekali
b.      Bersifat kalam tetapi kalam itu berhuruf dan bersuara yang memastikan tersdahulu dan terkemudian.
 Penjelasan
            1. Kalam ada dua macam
            a. Kalam Nafsi :
            Yang dimaksud dengan kalam nafsi ialah kalam yang tidak berhuruf dan tidak bersuara.
            Jelasnya, apabila  si A bertanya kepada si B ini apa ? serta menunjukkan kepada sesuatu yang dijadikan harga dalam jual beli, kemudian si B menjawab dengan jawaban bukan kata-kata, yang mana kata-kata adalah merupakan unsur bahasa.
            Bila jawaban itu dijelmakan ke dalam bahasa Indonesia, maka terdengar lafaz “uang:” bila jawaban itu dijelmakan dengan bahasa Inggris maka terdengarlah lafaz “ money” bila jawaban itu dijelmakan dengan bahsa Arab maka terdengarlah lafaz “ fulus”, maka uang, money, dan fulus adalah ibarat dari kalam nafsi yang asda padsa si B.
            b. Kalam Lafzi.
            Yang dimaksud dengan kalam lafzi ialah lafaz yang mengibaratkan kalam nafsi itu, maka pada contoh tadi dapat diketahui bahwa lafaz uang, lafaz money, lafaz fulus adalah kalam lafzi.

2. Kalam Allah
 Kalam Allah Ta’ala itu diartikan dalam dua arti, yaitu :
a.       Kalam Nafsi ; yang tidak berhuruf dan tidak bersuara yang memastikan tidak terdahulu dan tidak terkemudian.
b.      Al-Qur’an yakni lafaz yang diturunkan oleh Jibril kepada Rasulullah SAW yang tertulis dalam mushaf.

3. Al-Qur’an diartikan dalam tiga arti, yaitu ;
a.       Kalam Nafsi yang tidak berhuruf dan tidak bersuara sama dengan arti kalam Allah Ta’ala dalam arti pertama (a).
b.      Lafaz yang diturunkan Jibril kepada Rasulullah SAW, yang tertulis dalam mushaf dalam arti yang kedua (b)
c.       Mushaf itu sendiri yakni yang didalamnya tertulis Al-Qur’an dalam arti yang ketiga (c).
Pengertian kalam Allah dan Al-Qur’an yang berbeda-beda itu mengakibatkan berbeda-beda hukum yang tertuju kepadanya. Berbeda-bedanya hukum karena berbeda-beda pengertian tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Kalam Allah Ta’ala dalam pengertian yang pertama (a) adalah qadim karena ia adalah salah satu dari sifat-sifat Allah Ta’ala
2.      Kalam Allah Ta’ala dalam pengertian kedua (b) adalah hadits karena ia lafaz yang diturnkan oleh Jibril yang memastikan terpisah dari zat Allah Ta’ala yang bukan sifatNya, tetapi adalah ciptaanNya maka itu makhluk.
3.      Al-Qur’an dalam pengertian yang pertama (a) adalah qadim karena ia adalah sifat Allah Ta’ala
4.      Al-Qur’an dalam pengertian yang kedua (b) adalah hadits karena ia diturunkan oleh Jibril yang memastikan terpisah dari zat Allah Ta’ala (bukan sifat)
5.      Al-Qur’an dalam pengertian yang ketiga (c) adalah hadits karena dibuat (ditulis) oleh manusia dan haram menyentuhnya bagi orang yang berhadas besar maupun yang berhadas kecil[i].
6.      Pahala membaca Al-Qur’an dalam pengertian yang kedua (b) itulah yang dihadiahkan kepada orang yang sudah mati.
7.      Kaifiat turunnya Al-Qur’an.
Terdapat tiga pendapat ulama tentang kaifiat turunnya Al-Qur’an yakini, apa yang dituturkan oleh Jibril dan apa yang diterima oleh Rasulullah SAW.
a.       Makna saja ; lafaznya adalah dari Jibril yakni ibarat dari Jibril
b.      Maknanya saja, lafaz adalah dari Rasulullah SAW, yakni ibarat dari Rasulullah SAW.
c.       Makna dengan lafaz, berarti bahwa yang diturunkan Jibril dan yang diterima Rasulullah SAW, adalah makna dan lafaz, yakni makna dan lafaz kedua-duanya adalah langsung dari Allah Ta’ala sendiri.,
Pendapat ketiga (c) adalah pendapat ahlissunnah wal jama’ah yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.


[i] Namun tidak boleh dikatakan bahwa Al-Qur’an itu baharu secara muthlaq karena termasuk disegala pengertian