RSS

Thursday, January 6, 2011

Dalil Naqli & Dalil 'Aqli


1. Dalil dan Kebenaran ( al -Haq )
Kepercayaan (aqidah), harus berdasarkan dalil-dalil atau argumentasi yang dapat diterima oleh akal, atau oleh rasio manusia sebatas tingkatan–tingkatan fikiran mereka . Ini bukan berarti bahwa setiap mukmin harus tahu atau harus dapat mengemukakan argumentasi kebenaran dari seluruh tingkatan atau aspek kepercayaan, karena banyak sekali argumentasi yang baru dapat diterima oleh mukmin yang penalarannya telah memadai, sebaliknya banyak juga argumentasi sederhana dari suatu kebenaran dalam kepercayaan yang telah mencukupi bagi akal orang yang mau mempercayainya. Argumentasi–argumentasi itu dapat juga memberantas dan mengikis segala keragu-raguan atau kepercayaan yang lemah, sehingga muncul keteguhan, keyakinan dan kepercayaan yang kuat, tidak mudah goyah atau mendangkal. Sementara itu , tujuan utama dari dalil-dalil adalah, membuktikan kebenaran dan memantapkan keteguhan dalam berkeyakinan , bukan hanya sekedar tahu atau dihafal.

Namun demikian , bila akal seorang mukmin belum dapat mencapai kebenaran (al-Haq), maka perlu diketahui bahwa; sebenarnya keterbatasan akallah dalam mempergunakan dalil-dalil itu, yang masih terbatas atau masih salah jalan, bukan karena kebenaran itu yang tidak ada. Sedangkan Setiap mukmin, wajib berpegang kepada kebenaran yang datang dari wahyu di mana dan kapan saja.

2. Macam–Macam Dalil
Dalil adalah, petunjuk atau tanda bukti dari suatu kebenaran , karena untuk menentukan bahwa, sesuatu itu benar , dapat dipercayai dan diyakini perlu ada bukti yang sah dan akurat, sehingga kebenaran dan keyakinan itu dapat ditegakkan, sekaligus memberantas keragu-raguan dan rasa was-was di hati.
Oleh karena akal fikiran manusia, tidak sama kemampuan penalarannya , maka dalil-dalil itu pun disusun secara bertingkat, sesuai dengan kemampuan akal fikiran dalam mencerna dan menerimanya , sehingga tujuan dari dalil- dalil itu cepat tercapai dengan baik dan sempurna .
Dalil-dalil yang dimaksud dalam ilmu Tauhid ada dua macam, yaitu :
1. Dalil Naqli (bukti yang berasal dari salinan) Al-Qur’an dan Al-Hadis
2. dalil ‘aqli ( bukti yang berasal dari akal )
Adapun cara mempergunakan kedua macam dalil ini adalah: Dalil naqli dijadikan sebagai pelita , obor atau matahari yang menyinari . Sedangkan dalil ‘aqli, sebagai mata kepala yang melihat, menimbang dan memilih jalan yang telah disinari matahari itu. Akal ( rasio ) yang berjalan tanpa kompas, tentu akan tersesat atau keliru, sebab tidak jelas arah yang hendak dituju atau yang akan dilalui, atau akan menjadi bingung dalam mencari kebenaran. Bahkan semakin keliru, jika tidak mau bertanya kepada ahlinya. Oleh karena itu , dalil naqli berada di depan dan dalil ‘aqli menimbang–nimbang, apakah petunjuk dari dalil naqli dapat diterima atau ditolak.

Apabila terdapat perbedaan antara kedua macam dalil ini, atau tidak sejalan dan tidak saling mendukung, maka perlu peninjauan kembali kepada dua hal, yaitu :
1. Sampai dimanakah kekuatan akal dan petunjuknya dapat dipakai ?
2. Sampai dimanakah kekuatan pemahaman akal terhadap dalil-dalil naqli itu ?
Setelah diadakan peninjauan kembali terhadap hal-hal tersebut, maka dapat diyakini bahwa, kedua dalil tersebut tidak pernah bertentangan. Para ulama dan filosof sepakat, agar berpegang teguh kepada dalil-dalil yang kebenarannya tetap dan absolut serta meninggalkan dalil-dalil akal yang kebenarannya masih relative. sebab petunjuk akal itu belum sempurna, tetapi menuju kepada kesempurnaan. Yang sempurna adalah, kebenaran wahyu sebagai petunjuk dari sang Pencipta.
Imam Zarkasyi  berkata,: bahwa banyak diantara manusia yang tergila gila ta’assub atau fanatik percaya,sebelum mempergunakan akal fikiran. Ada juga yang tergila-gila fanatik tidak percaya sebelum mengetahui dan memikirkan alasan, dalil ataupun bukti-buktinya . Kedua cara ini tercela, khususnya dalam hukum kepercayaan. Sebab akan mematikan akal fikiran dan tidak akan membawa manusia kepada kebenaran dan kesempurnaan.

Orang yang fanatik tidak percaya, walaupun ada bukti yang jelas ( padahal jika ia memikirkannya pasti masuk akal ), tetap saja tidak percaya . Bahkan bukti-bukti itu diselidiki lagi, guna mencari sesuatu yang tersembunyi di balik dalil–dalil yang telah jelas itu. Agama Islam sangat mencela kedua macam fanatik itu. Oleh karena itu, diperlukan akal sehat dan hati yang tulus, serta tidak dipengaruhi oleh otoritas orang lain atau doktrin yang menyebabkan kefanatikan atau taqlid buta, yang dipegangi terus menerus.
Dalam sejarah ilmu kalam atau ilmu Tauhid , penggunaan dalil naqli dan dalil ‘aqli, sebelum munculnya faham Asy’ari sangat kontradiktif. Artinya kaum salaf dan qaramatiyah, sangat mengutamakan dalil naqli dan meremehkan dalil ‘aqli, sedangkan kaum Mu’tazilah yang dipelopori oleh Wasil bin Atha’, sangat mengutamakan dalil ‘aqli dari pada dalil naqli, sebagaimana yang ditulis oleh Hasbi as-Siddiqi:“Firqoh-firqoh syari’at sebelum Asy’ari” ( w 324 H ) adakala berpegang kepada dalil-dalil aqli saja, dengan mengabaikan dalil-dalil naqli , maka imam Asy’ari berusaha mengumpulkan kedua dalil itu, dengan secara paralel / saling menguatkan.
Imam al-Ghazali menyatakan bahwa:“akal (dalil akal) memerlukan dalil naqli dan dalil naqli memerlukan akal?. Bertaqlid atau menerima kepada pendapat orang tanpa mempergunakan akal sama sekali adalah, suatu kebodohan , mencukupkan akal saja tanpa memerlukan sinar wahyu Ilahi dan sunnah nabi adalah, suatu tipuan belaka. Maka jauhilah model seperti ini dan hendaklah mempergunakan atau menggabungkan kedua dasar pokok ini (naqli dan ‘aqli) , karena sesungguhnya, “ilmu logika dan filsafat seperti makanan dan ilmu-ilmu syara’ itu adalah, obat”
.
Dalam mentauhidkan Allah, ternyata para ulama mempunyai manhaj (sistem), sebagai respon dari petunjuk Allah Ta’ala, tentang mempergunakan akal, yang sangat banyak disinggung oleh Al-Qur'an, antara lain :
A. Hanya memakai dalil naqli, mengabaikan petunjuk akal atau dalil aqli, mereka ini sering disebut dengan faham Tekstual, yang umumnya adalah, “Manhaj Salaf as-Shalih”
B. Ada ulama atau pakar dalam bertauhid hanya mempergunakan dalil aqli, dengan mengabaikan dalil naqli yang tidak qath’i, atau dalil yang sepintas lalu berbeda dengan akal. Mereka ini sering disebut sebagai kaum kontekstual dari aliran atau manhaj kaum Mu’tazilah dan filosof.
C. Golongan yang menggabungkan dalil naqli dengan dalil aqli, yang harus sejalan, kedua-duanya itu merupakan Hidayatullah yang saling mendukung dan saling mempunyai porsi yang tidak boleh berseberangan, terutama tentang ayat-ayat mutasyabihat, atau ayat yang belum qath’i dalalahnya. Mereka ini adalah, Manhaj Kaum Khalaf as-Shalih, sebagai lanjutan Salaf as-Shalih atau sering disebut dengan “kaum sunni” atau “Ahlissunnah”. Selanjutnya ada orang berkata ;
Faham Salaf lebih aslam ( selamat )
Faham Khalaf lebih ahkam ( bijaksana)
Mudah-mudahan, kedua-dua manhaj ini diridhoi Allah Ta’ala 


Sumber Bacaan
1. Dalil naqli adalah, tanda bukti atau petunjuk dari teks ayat Al-Qur'an , yang tertera dalam mushaf al Qur’an atau Hadis mutawatir , yang tertera didalam kitab -kitab hadis , lalu diambil dan disalin dari tulisan yang telah baku. Frekwensi kebenarannya 100 %. Sedangkan dalil ‘aqli adalah, petunjuk dan pertimbangan akal fikiran yang sehat dan obyektif , tidak dipengaruhi oleh keinginan , ambisi atau kebencian dari emosi. Tegasnya dalil ‘aqli adalah, penerimaan akal secara murni dan bebas , kebenarannya relatif.
2. Zarkasyi, Ushuluddin ( ponorogo : Tri Murti Pres ) 1994
3. Imam Zarkasyi ialah, salah satu pendiri Pondok Modern Gontor dan Pengarang buku ‘ Ushuluddin “

4. Hasbi as-Shiddiqi “ Op.cit,,
5. Zuhdi jarullah “ al-Mu’tazilah “ ( Beirut, darut-fikr),

No comments:

Post a Comment